I.
KEKUASAAN
1.
Definisi
kekuasaan
Mengacu pada kemampuan yang dimiliki A
untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A.
2.
Sumber-sumber
kekuasaan menurut french & raven
Adapun sumber kekuasaan itu sendiri
terdiri dari dua macam. yaitu kedudukan dan kepribadian.
Kekuasaan
yang bersumber pada kedudukan
Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan
terbagi lagi kedalam beberapa jenis.
a. Kekuasaan
formal atau legal
Termasuk dalam jenis ini adalah komandan
tentara, kepala dinas, presiden atau perdana menteri, dan sebagainya yang
mendapat kekuasaannya karena di tunjuk dan/atau diperkuat dengan peraturan atau
perundangan yang resmi.
b. Kendali
atas sumber dan ganjaran
Majikan yang menggaji karyawannya,
pemilik sawah yang mengupah buruhnya, kepala suku atau kepala kantoryang dapat
memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya, dan sebagainya, memimpin
berdasarkan sumber kekuasaan jenis ini.
c. Kendali
atas hukuman
Ganjaran biasanya terkait dengan hukuman sehingga kendali atas ganjaran biasanya juga
terkait dengan kendali atas hukuman.
Kekuasaan bersumber
pada kepribadian
a. Keahlian
atau keterampilan
Dalam shalat berjamaah dalam agama
islam, yang di jadikan pemimpin shalat (imam) adalah yang paling fasih membaca
alquran. Di sebuah kapal atau pesawat udara, mualim atau penerbang yang paling
terampil yang dijadikan nahkoda atau kapten. Pasien-pasien di rumah sakit
menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah yang dianggap
paling ahli untuk menyembuhkan penyakitnya.
b. Persahabatan
atau kesetiaan
Sifat dapat bergaul, setia kawa kepada
kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan sehingga seseorang di anggap sebagai
pemimpin.
Selanjutnya ,
selanjutnya berdasarkan berbagai sumber kekuasaan tersebut French & Raven
(1959) menyusun sebuah kategorisasi sumber kekuasaan di tinjau dari hubungan
anggota (target) dan pemimpin (agent) sebagaimana dalam tabel 2.2.
II.
LEADERSHIP
A.
Definisi
leadership
1. Kepemimpinan
adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah
kelompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & coons)
2. Kepemimpinan
adalah suatu jenis hubungan kekuasaan yang ditandai oleh persepsi anggota
kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk merumuskan pola
perilaku dari anggota yang pertama dalam hubungannya dengan kegiatannya sebagai
anggota kelompok (Janda)
3. Kepemimpinan
adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan di arahkan melalui proses
komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu (Tannenbaum,
weschler & Massarik)
B.
Menjelaskan
teori-teori kepemimpinan partisipatif yang terdiri dari :
1. Teori
X & Teori Y dari douglas McGregor
Menurut McGregor, teori
X dan teori Y merefleksikan dua keyakinan ekstrem yang membedakan manajer
mengenai pekerja mereka. Teori X adalah pandangan negatif mengenai pekerja dan
konsisten dengan pandangan asumsi yang dibuat oleh pendukung hubungan manusia. Dalam
pandangan McGregor, teori Y merupakan suatu filosofi yang lebih sesuai untuk digunakan
manajer.
2. Teori
sistem 4 dari Rensis Likert
Rensis Linkert dari
Universitas Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model)
yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut Luthans (1973) struktur peniti
penyambung ini cenderung menekankan dan memudahkan apa yang seharusnya terjadi
dalam struktur klasik yang birokratik. Ciri organisasi berstruktur peniti
penyambung adalah lambatnya tindakan kelompok, hal ini harus diimbangi dengan
memanfaatkan partisipasi yang positif. Bila seseorang memperhatikan dan
memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen
berlangsung dalam empat sistem:
Sistem
Pertama: Sistem otokratis eksploratif yang penuh tekanan
dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak
memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan
bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan
atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak
selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.
Sistem
Kedua: Sistem otokratis paternalistic yang lebih lunak
dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan.
Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan
bawahan, keputusan ada di atas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut
memberikan masukan atas keputusan itu.
Sistem
Ketiga: Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan
dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan
dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan,
namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
Sistem
Keempat: Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi
aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan
dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan
menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat
dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi
dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi
umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang
kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian
.
3. Theory
Of Leadership Pattern Choice (Tannenbaum dan schmidt)
Menurut Tannenbaum dan
Schmidt, pola kepemimpinan bergantung kepada faktor-faktor yang berasal dari
sang pemimpin atau manajer itu sendiri, pengikut, dan situasi. Seorang pemimpin
memiliki persepsi kepemimpinan berdasarkan latar belakang, pengetahuan, dan
pengalamannya. Kekuatan-kekuatan internal yang berpengaruh pada seorang
pemimpin adalah sistem nilai yang dianut (keyakinan sejauh mana seorang
pengikut dapat terlibat dalam pengambilan keputusan), kepercayaan kepada
bawahan, kecenderungan kepemimpinan, dan rasa aman.
Pemimpin juga harus
memperhitungkan sejumlah kekuatan yang mempengaruhi perilaku pengikutnya,
termasuk ekspektasi mereka terhadap para pemimpin. Namun umumnya pemimpin
bersedia memberikan lebih banyak kebebasan bila pengikut memiliki kebutuhan
akan kemandirian yang lebih tinggi, siap memikul tanggung jawab lebih dalam
mengambil keputusan, tertarik kepada masalah yang dihadapi, memahami dan merasa
identik dengan tujuan organisasi, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
diperlukan dalam menghadapi sebuah masalah, dan memiliki ekspektasi untuk
berbagi dalam pengambilan keputusan.
Faktor situasi juga
menentukan. Faktor ini mencakup tekanan lingkungan yang berasal dari
organisasi, kelompok kerja, sifat masalah, dan waktu. Faktor organisasi
diantaranya mencakup nilai-nilai, ukuran unit kerja, distribusi geografis, dan
persyaratan keamanan yang diperlukan guna mencapai tujuan. Faktor yang berasal
dari kelompok kerja mencakup pengalaman dalam bekerja bersama, latar belakang
anggota organisasi, kepercayaan diri dalam memecahkan masalah, kekohesifan,
kebebasan, penerimaan timbal balik, dan kesamaan tujuan. Sifat masalah dapat
menjadi penentu tingkat otoritas yang didelegasikan pemimpin. Mengingat semakin
banyak masalah yang penyelesaiannya mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan
yang spesifik, semakin penting seorang pemimpin memberikan keleluasaan lebih
besar kepada para pengikutnya. Dalam hal waktu, semakin sedikit waktu yang
tersedia, biasanya keterlibatan orang lain dalam pengambilan keputusan semakin
sedikit.
Sebagai tambahan,
faktor lain yang berpengaruh terhadap pola kepemimpinan adalah faktor perubahan
lingkungan eksternal seperti kompetisi yang semakin ketat dan sengit,
perkembangan teknologi yang semakin cepat, perubahan perilaku pelanggan, dan
terbukanya aneka peluang bisnis baru. Dari sisi internal organisasi, saat ini
karyawan semakin kritis. Tuntutan mereka pun semakin tinggi. Situasi ini tentu
menyebabkan perusahaan tidak dapat lagi mengandalkan pola kepemimpinan dimana
pemimpin mendominasi pengambilan keputusan tanpa disertai partisipasi dan
pendelegasian wewenang yang memadai.
C.
Menjelaskan
teori kepemimpinan dari konsep modern choice
approach participation yang memuat desicion tree for leadership dari vroom
& yetten
Konsep Decision Tree of Leadership dari
Vroom & Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang
pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para
pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan mereka, maka jelas
bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil
keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas
pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih
efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat
keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan
dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi
stress, dan meningkatkan produktivitas.
5 tipe kunci metode
kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
a.
AI
(Autocratic) Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara
unilateral, menggunakan informasi yang ada.
b.
AII
(Autocratic) Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun
setelah membuat keputusan unilateral.
c.
CI
(Consultative) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
d.
CII
(Consultative) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
e.
GII (Group
Decision) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya
secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi
terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif
pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat
pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan
yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat
keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur
dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus
bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan
menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan
dicapai melalui pemecahan masalah ini.
D. Teori kepemimpinan dari konsep
Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan
pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan
tingkat- tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan
pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut
Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada
kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi
antara Pemimpin dan situasinya.
Teori kontingensi melihat pada aspek
situasi dari kepemimpinan (organization context). Fiedler mengatakan bahwa ada
2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan Situation Favorability. Leader
Orientation merupakan pilihan yang dilakukan pemimipin pada suatu organisasi
berorinetasi pada relationship atau beorientasi pada task. Leader Orientationdiketahui
dari Skala semantic differential dari rekan yang paling tidak disenangi dalam
organisasi (Least preffered coworker = LPC) . LPC tinggi jika pemimpin tidak
menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC yang rendah menunjukkan pemimpin yang
siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama. Skor LPC yang tinggi menujukkan
bahwa pemimpin berorientasi pada relationship, sebaliknya skor LPC yang rendah
menunjukkan bahwa pemimpin beroeintasi pada tugas. Fiedler memprediksi bahwa
para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada
tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka
yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan orang
apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para
pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC
apabila kontrol situasinya moderat. Hubungan antara LPC pemimpin dan
efektivitas tergantung pada sebuah variabel situasional yang rumit disebut
“keuntungan situasional” atau “situational favorability” atau “kendali
situasi”. Fiedler mendefinisikan kesukaan sebagai batasan dimana situasi
memberikan kendali kepada seorang pemimpin atas para bawahan. Situation
favorability adalahtolak ukur sejauh mana pemimpin tersebut dapat
mengendailikan suatu situasi, yang ditentukan oleh 3 variabel situasi.
Tiga aspek situasi yang
dipertimbangkan meliputi :
1. Hubungan pemimpin-anggota: Adalah
batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan,
pemimpin mempengaruhi kelompok dan kondisi di mana ia dapat melakukan begitu.
Seorang pemimpin yang diterima oleh anggota kelompok adalah dalam situasi yang lebih
menguntungkan daripada orang yang tidak.
2. Kekuasaan Posisi : Batasan dimana
pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan
penghargaan serta hukuman.
3.
Struktur Tugas: Batasan dimana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan
tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan
indicator objektif mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.
E. Teori kepemimpinan dari konsep path
goal theory
Teori path-goal adalah suatu model
kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring
elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating
structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Dasar dari teori
ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam
mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang
dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau
organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan
bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari
awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran
disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins,
2002).
Menurut teori path-goal, suatu
perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh
mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku
pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh
kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran,
arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins,
2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku
pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader,
participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan
pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu
bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama
mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada
situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha
meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini,
pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif,
kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Model path-goal menjelaskan
bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan
menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai
hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan
bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha
dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness).
Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan
kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka
capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang
paling efektif adalah merekayang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai
hasil yang bernilai tinggi.
Oleh karenanya, Model path-goal menganjurkan
bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1.Fungsi Pertama adalah memberi
kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya
dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan
tugasnya.
2.Fungsi Kedua adalah meningkatkan jumlah hasil (reward)
bawahannya
dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap
kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi
tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan
gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et
al dalam Kajanto, 2003)
1.Kepemimpinan pengarah (directive
leadership) Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka,
memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta
memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan
tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi
dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive
leadership) Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan.
Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan
mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan
hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok.
Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap
kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3.Kepemimpinan partisipatif (participative
leadership) Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran
dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatifdapat
meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi
prestasi (achievement-oriented leadership) Gaya kepemimpinan dimana pemimpin
menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi
semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam
proses pencapaian tujuan tersebut. Dengan menggunakan salah satu dari empat
gaya di atas dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan
tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para
karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan
cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan,
kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.Terdapat dua faktor
situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal
characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson,
2003).
1.Karakteristik Bawahan pada faktor
situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan
bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan
merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu
instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup
tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali (Locus of Control) Hal
ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil.
Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang
mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan
mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka
peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang
internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan
eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive
b.Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism
yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan
bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya
kepemimpinan partisipatif.
c. Kemampuan (Abilities) Kemampuan
dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih
berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang
telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi
yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan
mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang
mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2.
Karakteristik Lingkungan pada faktor situasional ini path-goalmenyatakan
bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan,
jika:
1)Perilaku tersebut akan memuaskan
kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam
pelaksanaan kerja.
2)Perilaku tersebut merupakan
komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan,
dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan
kerja. Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas struktur kerja
yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal kepemimpinan yang
direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan partisipasi bagi organisasi
dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja, dengan tingkat
kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportif
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, P. Steven, Judge, A. Timothy.
(2008). Perilaku organisasi . Jakarta
: Salemba empat
Sarwono Wirawan Sarlito. (2005).
Psikologi sosial: psikologi kelompok dan terapan. Jakarta : Balai Pustaka
Griffin, W. Ricky. (2003). Manajemen
jilid 1. Jakarta : Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar