kenapa kuliah di gunadarma ?
karena dulu saya sempat di terima di universitas negri di palembang, tapi ternyata orang tua saya tidak setuju karena kata bapak saya "masa SMA sudah di palembang, trus kuliah di palembang juga. kapan lagi mau kumpul sama keluarga. tinggal dulu sama mama bapak sampe wisuda baru nanti boleh kalo mau tinggal dimana aja"
jadiiiiii dengan berat hati pindah lah saya ke gunadarma,
kenapa harus gunadarma ? kata bapak saya gunadarma universitas yang paling bagus di bekasi, karena saya cuma boleh kuliah di bekasi
dan kenapa harus jurusan psikologi ? karena saya dari dulu mau jadi psikolog dan itu juga sebenernya orang tua saya nggak setuju, katanya kuliah psikologi mau kerja apa dll, tapi saya menyakinkan orang tua saya kalo jurusan psikologi itu punya masa depan juga akhirnya saya di bolehin kuliah jurusan psikologi,
dan kedepannya semoga di tahun ini saya bisa wisuda,
semoga allah memberikan rejeki terus ke orang tua saya supaya saya bisa lanjut S2, tapi kalo nggak ya gapapa saya kerja dulu baru nanti kalo ada rejeki sendiri lanjut S2 hehehehe
rencana saya sementara ini baru mau wisuda, kerja, dan S2
tapi saya yang berencana tetep allah nanti yang menentukan.
sekian :)
Senin, 09 Januari 2017
Rabu, 09 November 2016
Tugas Softskill : Technophobia
Kemajuan teknologi yang pesat membawa
suatu dampak positif dan negatif, dampak yang terlihat dalam masa kini adalah
kemudahan yang didapat oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan. Munculnya
banyak sekali inovasi dan teknologi yang membuat manusia tidak bisa lepas
dari teknologi, kemajuan teknologi yang pesat bisa mendapatkan hal posifit
yaitu kemudahan dalam komunikasi, mengolah data dan lain-lain. Tetapi dampak
positif ini juga diiringi adanya dampak negative yang muncul dalam perkembangan
tekonolgi, adanya teknologi yang baru membuat seseorang merubah gaya hidupnya.
Pesatnya pertumbuhan dari teknologi
memberikan dampak pada manusia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Terdapat dampak positif dan negative, setelah membahas dampak positif. Sekarang
membahas dampak negative yang terjadi dalam penggunaan internet, yaitu
berubahnya pola hidup seseorang terhadap teknologi. Manusia akan semakin
tergantung pada teknologi yang berkembang, ketergantungan dan perubahan pola
hidup manusia terhadap teknologi bisa diakibatkan oleh seseorang tersebut
memang menyukai perkembangan teknologi, kemudian mengikutinya. Perubahan yang
lainnya diakibatkan tuntutan dalam lingkungan sekitar bisa dari pekerjaan,
teman sekitar dan lain-lain. Dalam mengahadapi ini terdapat dua sikap yang yang
diambil oleh seseorang yaitu mengikuti dengan tangan terbuka dan belajar
mengenai teknologi baru atau meraa tidak nyaman dengan perkembangan teknologi
kemudian membuat seseorang tersebut cemas terhadap terhadap teknologi dan
kemudia ketakutan atas perkembangan tekonologi.
Technophobia bisa terjadi pada seseorang
yang menjadi mahasiswa dan mengambil jurusan yang memiliki fokus dalam IT, hal
ini bisa terjadi jika seseorang tersebut tertinggal dalam teknologi yang haru
digunakan dalam perkuliahannya dan tidak paham mengenai teknologi yang
digunakan. Dengan adanya teknologi yang baru dialami oleh seorang mahasiswa,
maka mahasiswa tersebut harus menghadapi konsekuensinya yaitu menerima
teknologi tersebut untuk dipelajari. Jika mahasiswa tersebut gagal dalam
menerima teknologi tersebut maka mahasiswa tersebut bisa terjangkit
technophobia atau biasa disebut kecemasan pada komputer. Teknologi software dan
hardware yang baru membuat mahasiswa tersebut merubah pola kehidupannya
sehari-hari karena mengenal teknologi yang baru. Seseorang yang bisa menemukan
kesempatan dalam mengekspos teknologi akan memiliki keuntungan yang besar dan
begitu juga terjadi sebaliknya.
Techonophobia adalah ketakutan atau
tidak suka teknologi canggih atau kompleks perangkat, terutama
komputer.Techonophobia bisa diartikan ke dua jenis kondisi: takut teknologi
atau antagonisme terhadap perkembangan teknologi. Dalam kasus pertama,
technophobia dapat menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan ketika penderita
datang ke dalam kontak dengan teknologi, seperti komputer. Tipe kedua
technophobe mungkin pelabuhan perasaan permusuhan terhadap perubahan teknologi
yang telah diperkenalkan ke masyarakat. Kebalikan Posisi - cinta teknologi -
disebut sebagai technophilia.
Jenis technophobia yang menyebabkan
orang merasa tidak nyaman dengan teknologi adalah perkembangan yang cukup
baru-baru ini, yang berasal dari kemajuan eksponensial dibuat di lapangan sejak
akhir abad ke-20. Selain itu, karena teknologi telah mempengaruhi hampir semua
aspek kehidupan dari lingkungan kerja pendidikan untuk kegiatan rekreasi,
technophobes ini umumnya memiliki waktu sulit mendapatkan jauh dari itu.
Akibatnya, kualitas umum kehidupan mereka dapat terpengaruh secara negatif.
Misalnya, ketakutan umum teknologi dapat menciptakan kecemasan dan frustrasi
pada orang-orang yang memiliki tugas yang mengharuskan mereka untuk
berinteraksi dengan teknologi yang mereka merasa tidak nyaman menggunakan.
Mengambil waktu untuk hati-hati mempelajari perubahan teknologi, membaca
artikel bantuan, menonton video instruktif, dan melakukan pelatihan yang tepat
sangat membantu dalam mengurangi rasa takut dan frustrasi di kalangan
technophobes.
Untuk mengatasi agar tidak
terjadinya technopobia maka mahasiswa perlu untuk Membeli buku mengenai
teknologi baru yang terkait dan membacanya, tidak malu bertanya kepada teman
atau senior yang lebih memahami mengenai teknologi baru tersebut. Untuk menghilangkan
rasa takut maka harus memprioritaskan apakah kita bisa hidup tanpa teknologi di
sekitar kita. kemudian jangan mencoba untuk mencari tahu teknologi terbaru. Karena
hal ini diperlukan untuk menilai apakah Anda membutuhkan semua fitur tambahan
yang berasal dari teknologi. Jangan takut untuk mencoba, dan kemudian lebih
banyak waktu untuk diri sendiri akan tetap dengan munculnya teknologi baru. Selain
itu, perlu hanya sekali untuk memahami keindahan dan kenyamanan masyarakat
buatan manusia, dan technophobia tidak akan muncul lagi.
Rabu, 09 Desember 2015
PSIKOLOGI MANAJEMEN : Tugas Portofolio 3
Nama Kelompok : Dhita Ayu Ariandini
Dwinindita Putri
Lita Daniyah Agustiany
Tugas Portofolio 3
A. Motivasi
1. Motivasi adalah semangat yang kuat untuk mencapai sesuatu, satu keinginan yang paling kuat untuk mendapatkan kejayaan dan kecermelangan. Motivasi juga merujuk kepada desakan hati dan naluri yang menggerakan seseorang untuk membuat suatu tindakan yang merangkumi segala jenis rangsangan, keperluan, kehendak, dan kemauan untuk mencapai sesuatu yang ingin dicapainya.
Menurut Weiner (1990) yang dikutip Elliot et al. (2000), motivasi didefenisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu.
Menurut Uno (2007), motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan adanya; hasrat dan minat; dorongan dan kebutuhan; harapan dan cita-cita; penghargaan dan penghormatan.
Motivasi adalah sesuatu apa yang membuat seseorang bertindak (Sargent, dikutip oleh Howard, 1999) menyatakan bahwa motivasi merupakan dampak dari interaksi seseorang dengan situasi yang dihadapinya (Siagian, 2004).
2. Teori Drive Reinforcement dan implikasi praktisnya :
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dan tanggapan, apabila diikuti oleh stimulus yang bersyarat. Demikian juga prinsip hukuman (Punishment) selalu berhubungan dengan berkurangnya frekuensi tanggapan, apabila tanggapan (response) itu diikuti oleh rangsangan yang bersyarat. Contoh : pengukuhan yang relatif malar adalah mendapatkan pujian setelah seseorang memproduksi tiap-tiap unit atau setiap hari disambut dengan hangat oleh manajer.
3. Teori Harapan dan implikasi praktisnya :
Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu , dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan, mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229) Karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan 2001:165). Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, karyawan akan menjdadi malas.
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu:
1. Harapan (expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku. Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian
2. Nilai (Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu
3. Pertautan (Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.Vroom mengemukakan bahwa pertautan dapat mempunyai nilai yang berkisar antara –1 yang menunjukan persepsi bahwa tercapinya tingkat ke dua adalah pasti tanpa hasis tingkat pertama dan tidak mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positip satu +1 yang menunjukan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk menimbulkan hasil tingkat ke dua.
Teori ini termasuk kedalam Teori – Teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.. Salah satu teori harapan yang terkait dengan kerja dikemukakan oleh George Poulus, Mathoney dan Jones (1957) yang mengacu pada Path-Goal Theory. Mereka mengemukakan bahwa para pekerja akan cenderung menjadi produktif apabila mereka memandang produktivitas yang tinggi itu sebagai satu cara atau lebih pada tujuan pribadi.
Sebaliknya, kinerja yang rendah hanyalah satu jalan menuju tujuan pribadi. Misalnya produktivitas yang tinggi akan lebihcepat atau mudah untuk terpenuhinya tujuan pribadi daripada pekerja yang hasilnya terbatas atau lebih rendah. Dengan menggunakan pendekatan”jalan ke arah tujuan (path-goal)” ini, Vroom (1976) menyarankan suatu teori motivasi kerjayang dikenal dengan singkatan VIE – Valensi/kemampuan (valence), sarana (Instrumentality), dan harapan (Expectancy). Pada kesempatan ini yang dibahas yaitu mengenai Teori Harapan (Expectancy Theory). Nadler & Lawler menyatakan bahwa terlepas dari teori VIE sebagaimana yang diutarakan para ahli lainnya, namun ternyata teori VIE menerima terlalu banyak dukungan empiis karena nilainya yang positif bagi organisasi. Secar khusus, teori ini memberikan beberapa implikasi yang jelas dan positif bagi manajer, dimana manajer hendaknya memperhatikan petunjuk sebagai berikut:
Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.
Rekomendasi: Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom, dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam Contoh Kasus:
Tingkatkan Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing pekerjaannya.
Tingkatkan Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya, selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik pula.
Tingkatkan Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari cuti, uang, kupon makan, dsb.
4. Teori tujuan dan implikasi praktisnya
Locke mengusulkan model kognitif yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan hubungan antara niat/intentions dengan perilaku.Aturan dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Hasil penelitian Edwin Locke dan rekan-rekan (1968), menunjukkan efek positif dari teori tujuan pada perilaku kerja. Penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme:
a. Tujuan adalah yang mengarahkan perhatian
b. Tujuan adalah yang mengatur upaya
c. Tujuan adalah meningkatkan persistensi
d. Tujuan adalah menunjang strategi untuk dan rencana kegiatan
5. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow :
Maslow (1970) telah menyusun kebutuhan-kebutuhan manusia dalam lima tingkat yang akan dicapai sebagai berikut:
a. Kebutuhan Fisiologi
Merupakan kebutuhan tingkat pertama yang paling rendah dan harus dipenuhi dan dipuaskan sebelum mencapai kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.Kebutuhan ini terdiri dari makan,minum,pernapasan dan lain-lain yang bersifat biologis.
b. Kebutuhan Keamanan
Yang termasuk kebutuhan keamannan adalah kestabilan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut dan ancaman.
c. Kebutuhan Sosial
Yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, pada saat ini individu akan sangat merasa kesepian dan terisolasi dari pergaulan.
d. Kebutuhan Harga Diri
Kebutuhan harga diri dapat dibagi menjadi dua katagori.Pertama adalah kebutuhan terhadap kekuasaan, berpretasi, pemenuhan diri, kekuatan, dan kemampuan untuk memberi keyakinan serta kebebasan.Kedua adalah kebutuhan akan nama baik, status, keberhasilan, pengakuan, perhatian, penghargaan.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Masing-masing orang ingin mewujudkan diri sebagai seorang yang mempunyai kemampuan yang unik.Kebutuhan ini hanya ada setelah empat kebutuhan sebelumnya dicapai secara memuaskan.Pada dasarnya bertujuan untuk membuat seluruh potensi yang ada dalam diri seseorang sebagai suatu wujud nyata yaitu dalam bentuk usaha aktualisasi diri.
6. Kebutuhan yang Relevan dengan perilaku dalam organisasi :
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya. Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut :
a. Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar
b. Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup.
c. Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai.
d. Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain.
e. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan kritik terhadap sesuatu.
B. Job Enrichment
Kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja karyawan, ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam bekerja maka seorang karyawan akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan.
Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja dan perputaran karyawan. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik.
Job enrichment adalah memperluas rancangan tugas untuk memberi arti lebih dan memberikan kepuasan kerja dengan cara melibatkan pekerja dengan pekerjaan perencanaan, penyelenggaraan organisasi dan pengawasan pekerjaan sehingga job enrichment bertujuan untuk menambah tanggung jawab dalam pengambilan keputusan, menambah hak otonomi dan wewenang merancang pekerjaan dan memperluas wawasan kerja.
2. Langkah- Langkah Re-Design pekerjaan untuk Job Enrichment :
a. Menggabungkan beberapa pekerjaan menjadi satu.
1) Menjadi lebih besar
2) Lebih bervariasi
3) Kecakapan lebih luas
b. Memberikan modul kerja untuk setiap pekerja.
c. Memberikan kesempatan pada setiap pekerja untuk dapat bertanggung jawab.
1) Kesempatan mengatur prosedur kerja sendiri
d. Memberikan kesempatan pekerja menghubungi kliennya sendiri secara langsung.
1) Orang – orang yang berhubungan dengan pelaksanaan kerjanya.
e. Menciptakan sarana – sarana umpan balik.
1) Pekerja dapat memonitor koreksi diri.
3. Pertimbangan-Pertimbangan Dalam Job Enrichment :
A. Jika pekerjaan terspesialisir dan sederhana dirancang kembali untuk memotivasi secara intrinsik pada pekerja, maka kualitas pelaksanaan kerja pekerja akan meningkat.
B. Absensi – absensi dan perpindahan kerja akan berkurang.
C. Dimensi inti yang berkaitan dengan motivasi intrinsik & lapangan kerja ( Hackman dan Oldham ), yaitu:
a. Keragaman ketrampilan (skill variety)
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. Misalnya, seorang salesman diminta untuk memikirkan dan menggunakan cara menjual yang berbeda, display (etalase) yang berbeda, cara yang lebih baik untuk melakukan pencatatan penjualan.
b. Jati diri tugas (task identity)
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya, seorang salesman diminta untuk membuat catatan tentang penjualan dan konsumen, kemudian mempunyai dan mengatur display sendiri.
c. Tugas yang penting (task significance)
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. Misalnya, sebuah perusahaan alat-alat rumah tangga ingin mengeluarkan produk panci baru. Para karyawan diberikan tugas untuk mencari kriteria seperti apa panci yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu masa kini. (tugas tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan karena hasil kerjanya nanti secara langsung akan memberi manfaat kepada pelanggan)
d. Otonomi
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. Misalnya, seorang manager mempercayai salah satu karyawan untuk memperebutkan tender dari klien. Karyawan tersebut menggunakan ide dan caranya sendiri untuk menarik perhatian klien . Karyawan diberi kebebasan untuk mengatur sendiri waktu kerja dan waktu istirahat.
e. Umpan balik (feed back)
Memberikan informasi kepada para pekerja tentang hasil pekerjaan sehingga para pekerja dapat segera memperbaiki kualitas dan kinerja pekerjaan. Misalnya, dalam menjual produk salesman didorong untuk mencari sendiri informasi, baik dari atasan maupun dari bagian‑bagian lain, mengenai segala hal yang berkaitan dengan jabatannya serta meminta pendapat konsumen tentang barang‑barang yang dijual, pelayanan, dll.
Jadi kondisi psikologis kritis karyawan yang muncul karena adanya dimensi utama dalam tugas akan mempengaruhi hasil kerja karyawan yang telah termotivasi secara internal. Berhasil atau tidaknya hasil kerja dalam job enrichment tergantung oleh kekuatan kayawan untuk berkembang dan berpikir positif.
Daftar pustaka :
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan praktek kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi industri dan organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
Dwinindita Putri
Lita Daniyah Agustiany
Tugas Portofolio 3
A. Motivasi
1. Motivasi adalah semangat yang kuat untuk mencapai sesuatu, satu keinginan yang paling kuat untuk mendapatkan kejayaan dan kecermelangan. Motivasi juga merujuk kepada desakan hati dan naluri yang menggerakan seseorang untuk membuat suatu tindakan yang merangkumi segala jenis rangsangan, keperluan, kehendak, dan kemauan untuk mencapai sesuatu yang ingin dicapainya.
Menurut Weiner (1990) yang dikutip Elliot et al. (2000), motivasi didefenisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu.
Menurut Uno (2007), motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan adanya; hasrat dan minat; dorongan dan kebutuhan; harapan dan cita-cita; penghargaan dan penghormatan.
Motivasi adalah sesuatu apa yang membuat seseorang bertindak (Sargent, dikutip oleh Howard, 1999) menyatakan bahwa motivasi merupakan dampak dari interaksi seseorang dengan situasi yang dihadapinya (Siagian, 2004).
2. Teori Drive Reinforcement dan implikasi praktisnya :
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
Jadi prinsip pengukuhan selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dan tanggapan, apabila diikuti oleh stimulus yang bersyarat. Demikian juga prinsip hukuman (Punishment) selalu berhubungan dengan berkurangnya frekuensi tanggapan, apabila tanggapan (response) itu diikuti oleh rangsangan yang bersyarat. Contoh : pengukuhan yang relatif malar adalah mendapatkan pujian setelah seseorang memproduksi tiap-tiap unit atau setiap hari disambut dengan hangat oleh manajer.
3. Teori Harapan dan implikasi praktisnya :
Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu , dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan, mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229) Karena ego manusia yang selalu menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan (Hasibuan 2001:165). Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, karyawan akan menjdadi malas.
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting, yaitu:
1. Harapan (expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku. Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian
2. Nilai (Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu
3. Pertautan (Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.Vroom mengemukakan bahwa pertautan dapat mempunyai nilai yang berkisar antara –1 yang menunjukan persepsi bahwa tercapinya tingkat ke dua adalah pasti tanpa hasis tingkat pertama dan tidak mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positip satu +1 yang menunjukan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk menimbulkan hasil tingkat ke dua.
Teori ini termasuk kedalam Teori – Teori Kesadaran. Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.. Salah satu teori harapan yang terkait dengan kerja dikemukakan oleh George Poulus, Mathoney dan Jones (1957) yang mengacu pada Path-Goal Theory. Mereka mengemukakan bahwa para pekerja akan cenderung menjadi produktif apabila mereka memandang produktivitas yang tinggi itu sebagai satu cara atau lebih pada tujuan pribadi.
Sebaliknya, kinerja yang rendah hanyalah satu jalan menuju tujuan pribadi. Misalnya produktivitas yang tinggi akan lebihcepat atau mudah untuk terpenuhinya tujuan pribadi daripada pekerja yang hasilnya terbatas atau lebih rendah. Dengan menggunakan pendekatan”jalan ke arah tujuan (path-goal)” ini, Vroom (1976) menyarankan suatu teori motivasi kerjayang dikenal dengan singkatan VIE – Valensi/kemampuan (valence), sarana (Instrumentality), dan harapan (Expectancy). Pada kesempatan ini yang dibahas yaitu mengenai Teori Harapan (Expectancy Theory). Nadler & Lawler menyatakan bahwa terlepas dari teori VIE sebagaimana yang diutarakan para ahli lainnya, namun ternyata teori VIE menerima terlalu banyak dukungan empiis karena nilainya yang positif bagi organisasi. Secar khusus, teori ini memberikan beberapa implikasi yang jelas dan positif bagi manajer, dimana manajer hendaknya memperhatikan petunjuk sebagai berikut:
Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.
Rekomendasi: Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom, dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam Contoh Kasus:
Tingkatkan Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing pekerjaannya.
Tingkatkan Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya, selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik pula.
Tingkatkan Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari cuti, uang, kupon makan, dsb.
4. Teori tujuan dan implikasi praktisnya
Locke mengusulkan model kognitif yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan hubungan antara niat/intentions dengan perilaku.Aturan dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Hasil penelitian Edwin Locke dan rekan-rekan (1968), menunjukkan efek positif dari teori tujuan pada perilaku kerja. Penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme:
a. Tujuan adalah yang mengarahkan perhatian
b. Tujuan adalah yang mengatur upaya
c. Tujuan adalah meningkatkan persistensi
d. Tujuan adalah menunjang strategi untuk dan rencana kegiatan
5. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow :
Maslow (1970) telah menyusun kebutuhan-kebutuhan manusia dalam lima tingkat yang akan dicapai sebagai berikut:
a. Kebutuhan Fisiologi
Merupakan kebutuhan tingkat pertama yang paling rendah dan harus dipenuhi dan dipuaskan sebelum mencapai kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.Kebutuhan ini terdiri dari makan,minum,pernapasan dan lain-lain yang bersifat biologis.
b. Kebutuhan Keamanan
Yang termasuk kebutuhan keamannan adalah kestabilan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut dan ancaman.
c. Kebutuhan Sosial
Yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, pada saat ini individu akan sangat merasa kesepian dan terisolasi dari pergaulan.
d. Kebutuhan Harga Diri
Kebutuhan harga diri dapat dibagi menjadi dua katagori.Pertama adalah kebutuhan terhadap kekuasaan, berpretasi, pemenuhan diri, kekuatan, dan kemampuan untuk memberi keyakinan serta kebebasan.Kedua adalah kebutuhan akan nama baik, status, keberhasilan, pengakuan, perhatian, penghargaan.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Masing-masing orang ingin mewujudkan diri sebagai seorang yang mempunyai kemampuan yang unik.Kebutuhan ini hanya ada setelah empat kebutuhan sebelumnya dicapai secara memuaskan.Pada dasarnya bertujuan untuk membuat seluruh potensi yang ada dalam diri seseorang sebagai suatu wujud nyata yaitu dalam bentuk usaha aktualisasi diri.
6. Kebutuhan yang Relevan dengan perilaku dalam organisasi :
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya. Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut :
a. Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar
b. Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup.
c. Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai.
d. Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain.
e. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan kritik terhadap sesuatu.
B. Job Enrichment
Kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja karyawan, ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam bekerja maka seorang karyawan akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan.
Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja dan perputaran karyawan. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik.
Job enrichment adalah memperluas rancangan tugas untuk memberi arti lebih dan memberikan kepuasan kerja dengan cara melibatkan pekerja dengan pekerjaan perencanaan, penyelenggaraan organisasi dan pengawasan pekerjaan sehingga job enrichment bertujuan untuk menambah tanggung jawab dalam pengambilan keputusan, menambah hak otonomi dan wewenang merancang pekerjaan dan memperluas wawasan kerja.
2. Langkah- Langkah Re-Design pekerjaan untuk Job Enrichment :
a. Menggabungkan beberapa pekerjaan menjadi satu.
1) Menjadi lebih besar
2) Lebih bervariasi
3) Kecakapan lebih luas
b. Memberikan modul kerja untuk setiap pekerja.
c. Memberikan kesempatan pada setiap pekerja untuk dapat bertanggung jawab.
1) Kesempatan mengatur prosedur kerja sendiri
d. Memberikan kesempatan pekerja menghubungi kliennya sendiri secara langsung.
1) Orang – orang yang berhubungan dengan pelaksanaan kerjanya.
e. Menciptakan sarana – sarana umpan balik.
1) Pekerja dapat memonitor koreksi diri.
3. Pertimbangan-Pertimbangan Dalam Job Enrichment :
A. Jika pekerjaan terspesialisir dan sederhana dirancang kembali untuk memotivasi secara intrinsik pada pekerja, maka kualitas pelaksanaan kerja pekerja akan meningkat.
B. Absensi – absensi dan perpindahan kerja akan berkurang.
C. Dimensi inti yang berkaitan dengan motivasi intrinsik & lapangan kerja ( Hackman dan Oldham ), yaitu:
a. Keragaman ketrampilan (skill variety)
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. Misalnya, seorang salesman diminta untuk memikirkan dan menggunakan cara menjual yang berbeda, display (etalase) yang berbeda, cara yang lebih baik untuk melakukan pencatatan penjualan.
b. Jati diri tugas (task identity)
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya, seorang salesman diminta untuk membuat catatan tentang penjualan dan konsumen, kemudian mempunyai dan mengatur display sendiri.
c. Tugas yang penting (task significance)
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. Misalnya, sebuah perusahaan alat-alat rumah tangga ingin mengeluarkan produk panci baru. Para karyawan diberikan tugas untuk mencari kriteria seperti apa panci yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu masa kini. (tugas tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan karena hasil kerjanya nanti secara langsung akan memberi manfaat kepada pelanggan)
d. Otonomi
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. Misalnya, seorang manager mempercayai salah satu karyawan untuk memperebutkan tender dari klien. Karyawan tersebut menggunakan ide dan caranya sendiri untuk menarik perhatian klien . Karyawan diberi kebebasan untuk mengatur sendiri waktu kerja dan waktu istirahat.
e. Umpan balik (feed back)
Memberikan informasi kepada para pekerja tentang hasil pekerjaan sehingga para pekerja dapat segera memperbaiki kualitas dan kinerja pekerjaan. Misalnya, dalam menjual produk salesman didorong untuk mencari sendiri informasi, baik dari atasan maupun dari bagian‑bagian lain, mengenai segala hal yang berkaitan dengan jabatannya serta meminta pendapat konsumen tentang barang‑barang yang dijual, pelayanan, dll.
Jadi kondisi psikologis kritis karyawan yang muncul karena adanya dimensi utama dalam tugas akan mempengaruhi hasil kerja karyawan yang telah termotivasi secara internal. Berhasil atau tidaknya hasil kerja dalam job enrichment tergantung oleh kekuatan kayawan untuk berkembang dan berpikir positif.
Daftar pustaka :
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan praktek kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi industri dan organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
Jumat, 06 November 2015
PSIKOLOGI MANAJEMEN: Tugas portofolio 2
I.
KEKUASAAN
1.
Definisi
kekuasaan
Mengacu pada kemampuan yang dimiliki A
untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A.
2.
Sumber-sumber
kekuasaan menurut french & raven
Adapun sumber kekuasaan itu sendiri
terdiri dari dua macam. yaitu kedudukan dan kepribadian.
Kekuasaan
yang bersumber pada kedudukan
Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan
terbagi lagi kedalam beberapa jenis.
a. Kekuasaan
formal atau legal
Termasuk dalam jenis ini adalah komandan
tentara, kepala dinas, presiden atau perdana menteri, dan sebagainya yang
mendapat kekuasaannya karena di tunjuk dan/atau diperkuat dengan peraturan atau
perundangan yang resmi.
b. Kendali
atas sumber dan ganjaran
Majikan yang menggaji karyawannya,
pemilik sawah yang mengupah buruhnya, kepala suku atau kepala kantoryang dapat
memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya, dan sebagainya, memimpin
berdasarkan sumber kekuasaan jenis ini.
c. Kendali
atas hukuman
Ganjaran biasanya terkait dengan hukuman sehingga kendali atas ganjaran biasanya juga
terkait dengan kendali atas hukuman.
Kekuasaan bersumber
pada kepribadian
a. Keahlian
atau keterampilan
Dalam shalat berjamaah dalam agama
islam, yang di jadikan pemimpin shalat (imam) adalah yang paling fasih membaca
alquran. Di sebuah kapal atau pesawat udara, mualim atau penerbang yang paling
terampil yang dijadikan nahkoda atau kapten. Pasien-pasien di rumah sakit
menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah yang dianggap
paling ahli untuk menyembuhkan penyakitnya.
b. Persahabatan
atau kesetiaan
Sifat dapat bergaul, setia kawa kepada
kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan sehingga seseorang di anggap sebagai
pemimpin.
Selanjutnya ,
selanjutnya berdasarkan berbagai sumber kekuasaan tersebut French & Raven
(1959) menyusun sebuah kategorisasi sumber kekuasaan di tinjau dari hubungan
anggota (target) dan pemimpin (agent) sebagaimana dalam tabel 2.2.
II.
LEADERSHIP
A.
Definisi
leadership
1. Kepemimpinan
adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah
kelompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & coons)
2. Kepemimpinan
adalah suatu jenis hubungan kekuasaan yang ditandai oleh persepsi anggota
kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk merumuskan pola
perilaku dari anggota yang pertama dalam hubungannya dengan kegiatannya sebagai
anggota kelompok (Janda)
3. Kepemimpinan
adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan di arahkan melalui proses
komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu (Tannenbaum,
weschler & Massarik)
B.
Menjelaskan
teori-teori kepemimpinan partisipatif yang terdiri dari :
1. Teori
X & Teori Y dari douglas McGregor
Menurut McGregor, teori
X dan teori Y merefleksikan dua keyakinan ekstrem yang membedakan manajer
mengenai pekerja mereka. Teori X adalah pandangan negatif mengenai pekerja dan
konsisten dengan pandangan asumsi yang dibuat oleh pendukung hubungan manusia. Dalam
pandangan McGregor, teori Y merupakan suatu filosofi yang lebih sesuai untuk digunakan
manajer.
2. Teori
sistem 4 dari Rensis Likert
Rensis Linkert dari
Universitas Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model)
yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut Luthans (1973) struktur peniti
penyambung ini cenderung menekankan dan memudahkan apa yang seharusnya terjadi
dalam struktur klasik yang birokratik. Ciri organisasi berstruktur peniti
penyambung adalah lambatnya tindakan kelompok, hal ini harus diimbangi dengan
memanfaatkan partisipasi yang positif. Bila seseorang memperhatikan dan
memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen
berlangsung dalam empat sistem:
Sistem
Pertama: Sistem otokratis eksploratif yang penuh tekanan
dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak
memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan
bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan
atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak
selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.
Sistem
Kedua: Sistem otokratis paternalistic yang lebih lunak
dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan.
Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan
bawahan, keputusan ada di atas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut
memberikan masukan atas keputusan itu.
Sistem
Ketiga: Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan
dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan
dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan,
namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
Sistem
Keempat: Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi
aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan
dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan
menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat
dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi
dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi
umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang
kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian
.
3. Theory
Of Leadership Pattern Choice (Tannenbaum dan schmidt)
Menurut Tannenbaum dan
Schmidt, pola kepemimpinan bergantung kepada faktor-faktor yang berasal dari
sang pemimpin atau manajer itu sendiri, pengikut, dan situasi. Seorang pemimpin
memiliki persepsi kepemimpinan berdasarkan latar belakang, pengetahuan, dan
pengalamannya. Kekuatan-kekuatan internal yang berpengaruh pada seorang
pemimpin adalah sistem nilai yang dianut (keyakinan sejauh mana seorang
pengikut dapat terlibat dalam pengambilan keputusan), kepercayaan kepada
bawahan, kecenderungan kepemimpinan, dan rasa aman.
Pemimpin juga harus
memperhitungkan sejumlah kekuatan yang mempengaruhi perilaku pengikutnya,
termasuk ekspektasi mereka terhadap para pemimpin. Namun umumnya pemimpin
bersedia memberikan lebih banyak kebebasan bila pengikut memiliki kebutuhan
akan kemandirian yang lebih tinggi, siap memikul tanggung jawab lebih dalam
mengambil keputusan, tertarik kepada masalah yang dihadapi, memahami dan merasa
identik dengan tujuan organisasi, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
diperlukan dalam menghadapi sebuah masalah, dan memiliki ekspektasi untuk
berbagi dalam pengambilan keputusan.
Faktor situasi juga
menentukan. Faktor ini mencakup tekanan lingkungan yang berasal dari
organisasi, kelompok kerja, sifat masalah, dan waktu. Faktor organisasi
diantaranya mencakup nilai-nilai, ukuran unit kerja, distribusi geografis, dan
persyaratan keamanan yang diperlukan guna mencapai tujuan. Faktor yang berasal
dari kelompok kerja mencakup pengalaman dalam bekerja bersama, latar belakang
anggota organisasi, kepercayaan diri dalam memecahkan masalah, kekohesifan,
kebebasan, penerimaan timbal balik, dan kesamaan tujuan. Sifat masalah dapat
menjadi penentu tingkat otoritas yang didelegasikan pemimpin. Mengingat semakin
banyak masalah yang penyelesaiannya mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan
yang spesifik, semakin penting seorang pemimpin memberikan keleluasaan lebih
besar kepada para pengikutnya. Dalam hal waktu, semakin sedikit waktu yang
tersedia, biasanya keterlibatan orang lain dalam pengambilan keputusan semakin
sedikit.
Sebagai tambahan,
faktor lain yang berpengaruh terhadap pola kepemimpinan adalah faktor perubahan
lingkungan eksternal seperti kompetisi yang semakin ketat dan sengit,
perkembangan teknologi yang semakin cepat, perubahan perilaku pelanggan, dan
terbukanya aneka peluang bisnis baru. Dari sisi internal organisasi, saat ini
karyawan semakin kritis. Tuntutan mereka pun semakin tinggi. Situasi ini tentu
menyebabkan perusahaan tidak dapat lagi mengandalkan pola kepemimpinan dimana
pemimpin mendominasi pengambilan keputusan tanpa disertai partisipasi dan
pendelegasian wewenang yang memadai.
C.
Menjelaskan
teori kepemimpinan dari konsep modern choice
approach participation yang memuat desicion tree for leadership dari vroom
& yetten
Konsep Decision Tree of Leadership dari
Vroom & Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang
pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para
pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan mereka, maka jelas
bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil
keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas
pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih
efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat
keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan
dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi
stress, dan meningkatkan produktivitas.
5 tipe kunci metode
kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
a.
AI
(Autocratic) Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara
unilateral, menggunakan informasi yang ada.
b.
AII
(Autocratic) Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun
setelah membuat keputusan unilateral.
c.
CI
(Consultative) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
d.
CII
(Consultative) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
e.
GII (Group
Decision) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya
secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi
terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif
pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat
pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan
yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat
keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur
dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus
bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan
menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan
dicapai melalui pemecahan masalah ini.
D. Teori kepemimpinan dari konsep
Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan
pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan
tingkat- tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan
pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut
Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada
kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi
antara Pemimpin dan situasinya.
Teori kontingensi melihat pada aspek
situasi dari kepemimpinan (organization context). Fiedler mengatakan bahwa ada
2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan Situation Favorability. Leader
Orientation merupakan pilihan yang dilakukan pemimipin pada suatu organisasi
berorinetasi pada relationship atau beorientasi pada task. Leader Orientationdiketahui
dari Skala semantic differential dari rekan yang paling tidak disenangi dalam
organisasi (Least preffered coworker = LPC) . LPC tinggi jika pemimpin tidak
menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC yang rendah menunjukkan pemimpin yang
siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama. Skor LPC yang tinggi menujukkan
bahwa pemimpin berorientasi pada relationship, sebaliknya skor LPC yang rendah
menunjukkan bahwa pemimpin beroeintasi pada tugas. Fiedler memprediksi bahwa
para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada
tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka
yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan orang
apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para
pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC
apabila kontrol situasinya moderat. Hubungan antara LPC pemimpin dan
efektivitas tergantung pada sebuah variabel situasional yang rumit disebut
“keuntungan situasional” atau “situational favorability” atau “kendali
situasi”. Fiedler mendefinisikan kesukaan sebagai batasan dimana situasi
memberikan kendali kepada seorang pemimpin atas para bawahan. Situation
favorability adalahtolak ukur sejauh mana pemimpin tersebut dapat
mengendailikan suatu situasi, yang ditentukan oleh 3 variabel situasi.
Tiga aspek situasi yang
dipertimbangkan meliputi :
1. Hubungan pemimpin-anggota: Adalah
batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan,
pemimpin mempengaruhi kelompok dan kondisi di mana ia dapat melakukan begitu.
Seorang pemimpin yang diterima oleh anggota kelompok adalah dalam situasi yang lebih
menguntungkan daripada orang yang tidak.
2. Kekuasaan Posisi : Batasan dimana
pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan
penghargaan serta hukuman.
3.
Struktur Tugas: Batasan dimana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan
tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan
indicator objektif mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.
E. Teori kepemimpinan dari konsep path
goal theory
Teori path-goal adalah suatu model
kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring
elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating
structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Dasar dari teori
ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam
mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang
dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau
organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan
bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari
awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran
disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins,
2002).
Menurut teori path-goal, suatu
perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh
mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku
pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh
kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran,
arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins,
2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku
pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader,
participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan
pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu
bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama
mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada
situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha
meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini,
pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif,
kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Model path-goal menjelaskan
bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan
menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai
hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan
bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha
dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness).
Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan
kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka
capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang
paling efektif adalah merekayang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai
hasil yang bernilai tinggi.
Oleh karenanya, Model path-goal menganjurkan
bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1.Fungsi Pertama adalah memberi
kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya
dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan
tugasnya.
2.Fungsi Kedua adalah meningkatkan jumlah hasil (reward)
bawahannya
dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap
kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi
tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan
gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et
al dalam Kajanto, 2003)
1.Kepemimpinan pengarah (directive
leadership) Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka,
memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta
memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan
tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi
dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive
leadership) Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan.
Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan
mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan
hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok.
Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap
kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3.Kepemimpinan partisipatif (participative
leadership) Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran
dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatifdapat
meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi
prestasi (achievement-oriented leadership) Gaya kepemimpinan dimana pemimpin
menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi
semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam
proses pencapaian tujuan tersebut. Dengan menggunakan salah satu dari empat
gaya di atas dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan
tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para
karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan
cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan,
kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.Terdapat dua faktor
situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal
characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson,
2003).
1.Karakteristik Bawahan pada faktor
situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan
bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan
merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu
instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup
tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali (Locus of Control) Hal
ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil.
Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang
mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan
mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka
peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang
internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan
eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive
b.Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism
yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan
bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya
kepemimpinan partisipatif.
c. Kemampuan (Abilities) Kemampuan
dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih
berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang
telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi
yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan
mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang
mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2.
Karakteristik Lingkungan pada faktor situasional ini path-goalmenyatakan
bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan,
jika:
1)Perilaku tersebut akan memuaskan
kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam
pelaksanaan kerja.
2)Perilaku tersebut merupakan
komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan,
dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan
kerja. Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas struktur kerja
yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal kepemimpinan yang
direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan partisipasi bagi organisasi
dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja, dengan tingkat
kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportif
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, P. Steven, Judge, A. Timothy.
(2008). Perilaku organisasi . Jakarta
: Salemba empat
Sarwono Wirawan Sarlito. (2005).
Psikologi sosial: psikologi kelompok dan terapan. Jakarta : Balai Pustaka
Griffin, W. Ricky. (2003). Manajemen
jilid 1. Jakarta : Erlangga
Langganan:
Postingan (Atom)